Nov 26, 2012

Yang Haus... Yang Haus...

Oke, kali ini aku bakal ngebahas tentang minuman di Jogja. No, bukan miras. Awal-awal tinggal di sini saat pesan makan di kantin kampus salah satu teman mengatakan, "Di sini minum tuh beli. Beda kalo di Bandung." Dan tentu sajja benar. Kalo di Bandung kalo pesan bakso, ya pasti dikasih teh atau air putih*gratis. Kalo di sini (Yogyakarta) mau pesan teh tawar bayar, uhmm...

Susah juga dapet Teh Botol S*sro di sini, karena kebanyakan tempat makan hanya menawarkan teh manis (buatan sendiri), dengan gulanya masih nampak, arghhh... gak suka :( apalagi aku bermasalah dengan es mentah efeknya langsung terasa sakit perut atau sakit tenggorokan, cara membedakan antara es air mentah atau masak adalah ketika es batu itu berwarna putih, berarti airnya mentah, kalo bening berarti air matang*bener gak ya :p

Sebagai pecandu kopi, sering bermasalah juga ketika pesen kopi di tempat makan atau angkringan. Kopi diseduh dengan air satu gelas besar (gelas ukuran bir itu lho) plus gula pula, aarghhhhh... Jadi kadang mesti ngasih tau dulu yang bikinnya, dan kadang tetep ajja mereka gak ngerti, jadi jarang sekali aku nongkrong 'sekedar minum kopi'

Melihat kadar kuantitas air dalam minuman sih yang aku tangkap karena di sini mereka senang banget diskusi/ngobrol :D jadi mungkin biar cukup banyak buat ngobrol kali ya?

*oh, iya no pict for this time deh... malas uplot hihihi

Nov 5, 2012

Produksi, Produk, Produktif

Dalam salah satu kuliah, aku mendengar pernyataan dosen, "Hakikat manusia itu adalah bagaimana dia menciptakan sesuatu dalam hidupnya. Jika manusia itu belum membuat 'produk' apapun, dia belum seutuhnya menjadi manusia." Mendengar itu aku langsung diam, apa yang telah aku buat? Secara materi gada satu hal pun yang aku produksi, yang tentunya mendapatkan keuntungan.

Sampai saat ini, nilai materi menjadi titik utama hidupku. Bagaimana sebuah nominal rupiah jadi barometer kesusksesan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Jika menghitung uang yang telah aku keluarkan dari semenjak lahir, maka bisa disimpulkan bahwa aku manusia golongan 'bangkrut' luar biasa. Mari kita keluar dari urusan batiniah yang mendepak kepuasan nonmateri. Oke, itu urusan lain. Kalo dicampur dengan masalah batin, tentu aku adalah manusia yang 'lumayan' bahagia.
Melihat sekeliling manusia dalam hidupku, berseliweran makhluk-makhluk luar biasa yang memiliki 'karya' produksinya masing-masing, bagaimana mereka bekerja dan menghasilkan uang dan kemudian mereka entah menggunakannya untuk apa. Tentu jika menjadikan orang lain sebagai barometer kesuksesan kita, maka tentu saja gakan ada ujungnya.

Nov 2, 2012

Sastra, Film, dan Sinetron Populer Indonesia

Kehadiran tiga media di atas, apalagi ditambah kata "Indonesia", pasti kita bakal tahu apa yang menjadi ikon utamanya. Populer itu identik dengan kata menghibur, terkenal, fenomenal, dan dibuat dengan produksi massal. Karena pada hakikatnya populer memiliki fungsi memberikan nilai keuntungan bagi pembuatnya.
Akan tetapi, antara sastra dan film, keduanya juga menjadi subjek kreativitas dan inovativitas. Kehadiran tokoh-tokoh dalam kedua genre untuk saat ini, di Indonesia, belum memiliki dua kategori di atas. Tokoh-tokohnya masih seputar gadis cantik miskin mencintai lelaki kaya, kekayaan menjadi nilai materi utama namun disamarkan dengan kebaikan sifat-sifat tokoh utama yang tidak mementingkan kekayaan, dengan salah satu kasus menemukan dompet dan mengembalikannya pada si kaya, dan mereka jatuh cinta dan si miskin jadi kaya. salah satu cerita yang pada faktanya ketika aku kehilangan dompet, tidak pernah sekalipun ada lelaki ganteng yang mengembalikannya. Maka dalam hal ini, cerita-cerita populer itu hanya menutupi kebohongan publik.


Buku bukanlah properti utama di rumahku, meskipun ada beberapa buku tulis, buku pelajaran, serta buku-buku gambar adikku yang berserakan dimana-mana, tidak ada buku sastra yang berjejer di rak-rak tinggi. Tidak ada. Karena keluargaku bukanlah pecinta buku. Mamaku suka membaca, kadang aku mendapati beliau sedang fokus membaca brosur produk supermarket. Bapakku apalagi, beliau membaca tumpukkan undangan di meja, lalu mengomentari undangan dimulai dari isi, poto, dan hal-hal gak penting lainnya. Maka dari itu, sangatlah tidak penting membicarakan kakak dan adikku yang keduanya tidak pernah aku lihat mereka membaca. Aku, aku suka membaca itu jika pilihan lainnya adalah menulis.