Tulisan ini adalah suatu bentuk apresiasi tentang pemberitaan seputar Karst Citatah
Karst Citatah adalah situs purbakala tertua (kurang tahu di Indonesia ya kalo gak salah?) diemukan fosil-fosil di sekitar Karst tersebut. Aku tinggal di wilayah Padalarang, dari depan rumah bisa dilihat Gunung Pabeasan, tempat ditemukannya fosil purba tersebut. Bahkan sampai saat ini pun, aku belum pernah ke gunung itu, ghahahaha. Sudah sejak lama pro dan kontra tentang penyalahgunaan potensi alam karst tersebut menjadi perbincangan. Keluargaku adalah pengusaha yang sangat... sangat bergantung pada karst itu. Maka ketika muncul polemik Situs Karst Citatah, kami hanya bisa menghela nafas panjang dan bingung apa yang mesti kita lakukan jika penambangan ditutup.
Para pecinta alam, pecinta situs bersejarah, pecinta Indonesia, akan sepakat untuk menutup penambangan tersebut. Dan kami sebagai masyarakat dalam akan kelimpungan dengan nasib kami dan para karyawan yang hidup bergantung pada gunung kapur tersebut. Wilayah Padalarang Cipatat bukan wilayah strategis untuk mengembangkan ekonomi dalam hal perdagangan, terlebih setelah dibukanya Tol Cipularang, jalan yang dulunya ramai oleh kendaraan dari Jakarta kini sepi. Tanahnya pun gersang, tidak cocok untuk menanam padi ataupun berladang.
Jika melihat sepanjang sisi kiri kanan jalan, maka akan terlihat bengkel, pabrik, tambal ban, dan bentuk usaha lain yang semuanya sangat berhubungan erat dengan penambangan tersebut, maka jika memang Karst Citatah ditutup untuk penambangan, semua itu mungkin akan ikut ditutup dan wilayah akan mati. Para warga sekitar hampir semuanya buruh, mereka bertahan di wilayahnya tanpa ingin ikut berbondong-bondong ke kota besar ikut urbanisasi. Mereka hidup dari penambangan itu.
Dari buruh pabrik yang hanya bergaji 200 ribu perminggu, para buruh bisa bertahan hidup, bisa menafkahi keluarga dengan hidup sederhana. Setiap hari Sabtu rumahku dipenuhi para buruh itu, mereka dari anak remaja sampai tua renta, bergantung pada situs bersejarah itu. Mereka tidak mengerti apa itu situs sejarah, apa gunanya untuk mereka, apa ruginya bagi negara. Jika mereka dialihkan pada jenis pekerjaan lain, maka mereka akan sama bingungnya dan mengubah jenis pekerjaan itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Pekerjaan dari sebuah kuli penghancur batu, supir, kenek, kuli angkut, tukang tambal ban sekalipun sudah mendarah daging bagi mereka.
Ibaratkan penambangan ditutup, dan dialihfungsikan menjadi tempat wisata, apa akan sangat menjanjikan bagi mereka para buruh? Mereka akan beralih profesi menjadi joki vila? Tukang sewa tenda? Yang aku takutkan malah wisata itu menjadikan wisata negatif dan merubah para remaja wanita menjadi pemandu karoke warung remang-remang.
Setiap hari asap pabrik mengepul, dada kami sesak, pabrik makin luas dan kami makin sakit. Tapi dari sana kami masih mampu bertahan. Mereka para buruh yang SD pun mereka tak sempat tamatkan, tapi aku melihatnya sudah cukup bangga, bisa menghidupi keluarga dengan gaji yang jauh dari para sarjana, tapi bisa kredit motor, memiliki hape, memiliki rumah, membangun sebuah keluarga. Jika kalian yang merasa Karst Citatah greget ingin segera menutupnya menjadi situs kebanggaan Indonesia maka nasib mereka para buruh sederhana mungkin juga akan jadi situs bersejarah, menganggur dan tingkat kriminalitas akan merajalela.
Yang aku tahu semua pekerjaan itu sama sulitnya, semua ada resiko, ada yang halal dan yang haram. Akan tetapi jika masyarakat dalam pun merasa dirugikan Karst Citatah ditutup maka itu artinya sangat berharga kegiatan penambangan itu bagi mereka. Alam yang diberikan Tuhan untuk hambanya teramat sangat besar dan luas, kita tidak pernah tahu siapa yang rakus dan yang dirugikan, yang kita tahu Tuhan selalu punya cara untuk memberi rejeki pada hambanya yang berusaha dengan halal.
---Jangan Percaya Pada Apa Yang Dilihat Yang Didengar Yang Dikata Hanya Hati Yang Selalu Jujur----
makanya ayooo kita bikin peternakan batu, buat supaya batu itu bisa beranak dan penambangan batu bisa dialihkan menjadi peternakan batu (ide futuristik) ;D
ReplyDeleteapabila dilema serupa diulang dan diulang, maka akan sampai pada titik dimana batu kapur habis dan warga sekitar mau tidak mau harus beralih profesi karena tidak ada sesuatu untuk ditambang, kira2 solusina kumaha?
---diulangi yang tadi terlalu panjang---
Deletekayaknya itu ide yang bagus, kenapa gak kepikiran ya????
Oh, ya, kalo aih profesi itu memang sulit karena jika punya cadangan karir yang pasti lebih bagus dari menambang mungkin gakan nunggu potensi alam habis, dari sekarang mungkin mereka akan berbondong-bondong pindah profesi hahaha. Mungkin yang membuat mereka bertahan di penambangan itu karena menguntungkan bagi mereka dan itulah makna dari sebuah pekerjaan. Insyallah akan lama habisnya karena gak semua gunung bisa bebas diambil, bersyukurlah masih ada kearifan lokal di sini.
kenapa mayoritas penambang sulit beralih ke pertanian padahal dulu sempet ada program moratorium (program pembinaan dan penyuluhan untuk pengalihan profesi dari penambangan ke pertanian), mungkin karena hasil yang didapatkan dari bertani tidak seinstan dari pertambangan, atau karena warga penambang sudah merasa nyaman dengan pekerjaannya. Masalah tanah yang tandus ane kira tidak mesti jadi alasan khusus. pemikiran 'wah da batu mah loba keneh, moal beak' itulah akar pengrusakan yang sebenarnya, ga akan berfikir ulang sampai melihat langsung saat batu2 itu akhirnya habis.
ReplyDelete(sebenarnya saya agak setuju untuk menutup hanya sebagian wilayah saja seperti gua pawon, pabeasan dan manik) saya bersyukur masih ada orang2 yang punya kearifan lokal untuk bersikap bijak dalam menambang. Tapi tidak sedikit juga yang ga peduli dan tetap menambang dengan dalih 'yang penting bisa makan dan nganjuk motor (mengutip kata2 temen sayah)' tidak akan berfikir untuk menyisakan gunung2 tersebut untuk anak cucunya kelak (bukan untuk ditambang). Buktinya, meskipun orang2 tahu pabeasan tidak boleh ditambang, kenapa masih ada penambangan di belakang pabeasan? kalo bagian pinggir itu habis, siapa yang akan menjamin tebing utama gunung pabeasan itu tidak akan ditambang?
intinya, menurut ane, pekerjaan penambangan itu ada bukan semata ga ada profesi lain da profesi mah loba nu halal oge, tapi karena faktor kenyamanan tea. jadi wajar kalo cuma bos-bos saja yang duduk santai dan penghasilannya paling besar dibanding para buruh yang kerja dari pagi sampe malem pun tidak akan pernah menyaingi besarnya gaji sang bos. tapi karena para buruh kita orang2 bersyukur, jadinya 'hatur lumayan ue dari pada nteu oge'.
langkah paling bijak buat kita sebagai warga yang masih belum termasuk kepepet memenuhi kebutuhan hidup, adalah mencari alternatif profesi buat lahan kerja para buruh tambang, yang tentunya hasilnya lebih besar dan lebih nyaman supaya mereka mau beralih profesi.
ReplyDeleteane pengen liat, ketika satu per satu para buruh tambang beralih profesi, dan pabrik2 pun sepi, sampai akhirnya para bos2 yang hanya memanfaatkan warga penambang mau gak mau harus pindah profesi juga ke bidang yang lebih ramah lingkungan.
Ayoo para entrepreneur muda, selamatkan warga dari dosa kapaksa!!
huuh, mungkin karena tanahnya tandus jadi hasil tani tidak akan bisa menyaingi hasil seperti wilayah lain (misal lembang) Nenekku petani yang hasilnya hanya mampu untuk diri sendiri ajja soalnya gada yang minat beli beras yang hasilnya gak sebagus pasar
DeleteDulu wilayah ini dijadikan tempat pembuangan sampah dari kota lho... sudah berubah fungsi bermacam-macam, terkahir jadi pertanian dan memang tidak menghasilkan.
sebagian besar lahan sudah dimiliki para bos dari luar (maksudnya pemiliknya bukan orang sini). Kami (keluargaku) sedang mengusahakn alih profesi itu, yang prosesnya akan sangat lama, uy. Jadi doakan saja.
Gunung Pabeasan, Gua Pawon, memang dilindungi jadi tidak akan 'digimana-gimanain' sama 'si bos' kalo gunung dibelakang Pabeasan itu milik perseorangan jadi kami tidak bisa bebuat apa-apa, gunung itu ada yang punya :(