Jun 20, 2017

Kematian-kematian Tanpa Tangisan

Di Yogyakarta ini aku mengalami dua hal menyedihkan; kehilangan dua nenek. Tragisnya, sebagai orang yang tinggal jauh dari rumah, kedua kalinya aku tidak bisa mengantarkan beliau berdua ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dengan kondisi bahwa, berita mendadak dengan jarak tidak mampu membawaku pada ritual secara material. Namun, yang kupercaya, secara spiritual aku merasakan kepedihan yang sama dengan orang-orang yang dekat secara jarak

Berulang kali aku mencoba berbaik sangka terhadap diri sendiri, namun beberapa kali juga berburuk sangka, bahwa teramat piciknya aku yang tak mengusahakan apa-apa untuk kepergian nenekku. Bahkan untuk berdoapun, meski secara tulus kudoakan, aku masih saja merasa sangat hina. Jika aku saja sudah merasa demikian, bagaimana dengan orang lain, bagaimanapun dalam kondisi terpukul, akan sangat emosional untuk mengungkit kebaikan dan keburukan dalam satu waktu.

Jadi dalam keadaan nestapa, aku mengurung diri di kamar kos. Berusaha membalas ucapan-ucapan belasungkawa seadanya di media sosial. Namun, dalam kesendirian ini aku berkali mengulang melankolia memori-memoriku bersama nenek-nenekku itu. Berusaha menggali agar, setidaknya, aku bisa menangis.Hal yang sangat sulit kulakukan memanglah menangisi kepergian seseorang, bahkan yang kucintai sekalipun.

Ingatan pertamaku pada nenek dari bapak yang meninggal sekitar tahun 2013. Bapakku menelepon kala itu, malam hari. Berusaha biasa, tapi suaranya parau, berharap anaknya ini kaget luar biasa seperti dirinya. Sayangnya, aku hanya kaget beberapa saat, dan sempat-sempatnya mengingat siapa yang dia maksud dengan Emih, panggilan nenek dalam bahasa Sunda. Setelah itu, telepon beralih pada Mama, Mamaku tidak menyarankan untuk pulang. Doakan saja, ucapnya.

Ingatan pertamaku tentang Emih adalah di usia yang aku tidak ingat, sepertinya sekitar empat tahun. Saat itu aku sering mengunjungi Emih yang rumahnya hanya berjarak 200 meter dari rumah. Emih seorang penjual masakan, meski tidak pernah ramai pembeli. Dinding rumahnya retak luar biasa, itu karena berada di jalan yang selalu dilalui truk-truk besar. Aku tak pernah banyak bercakap dengannya, pembawaannya ketus terlebih sejak sakit-sakitan dan hanya bisa duduk di kursi sofa pemberian kami. Kami memang selalu menjadikan rumah Emih sebagai 'tempat menyimpan barang-barang lama', bahkan dulu di lebaran terakhirku mengunjungi rumah Emih, masih nampak televisi 17 inch kami di sana, menyala.

Kami, khususnya aku sendiri, hanya bertemu dengan Emih setahun sekali, pas lebaran. Itupun karena tempat shalat ied berada dekat dengan rumahnya. Aku kadang merasa takut bertemu Emih, takut tidak dikenalinya lagi. Mungkin Emih sudah lupa pada anak yang selalu datang setahun sekali. Hubungan antara Emih dan Mama juga nampak biasa saja, dari hubungan itulah, aku kecil tahu bagaimana hubungan antara menantu-mertua. Semakin besar aku semakin memahami bahwa sebaik-baik apapun hubungan antara mertua dan menantu, hubungan yang tak sedarah, takkan sebaik hubungan anak kandung dan ibunya.

Nenekku dari Mama, aku tahu kabar meninggalnya dari sms Mama subuh. Tepat lima jam setelah kepulangan nenek. Meski sudah kutahu akan begitu, aku sempat kaget sepersekian detik, lalu mencari kabar dari BBM yang listnya hanya keluargaku saja. Semua sudah menuliskan belasungkawa, tragisnya aku menulisnya jauh-jauh kemudian. Dibanding Emih, Emak, panggilan untuk nenek dari Mama, memiliki memori lebih banyak di kepalaku. Rumahnya hanya erjarak satu langkah dari rumahku. Mungkin aku telah mengenalnya semenjak lahir.

Akan tetapi, ingatan pertamaku sejauh yang kuingat adalah saat aku digendong Mama, Emak menanyakan perihal antingku yang hilang sebelah, aku selalu menghilangkan sebelah anting dari kecil. Itu mungkin saat usiaku dua tahun. Dua tahun kemudian, Emak membantuku mencarikan baju ganti, seingatku Mama marah padaku kala itu.

Semakin dewasa, semakin banyak memoriku dengan Emak. Emak selalu tahu perkembangan cucu-cucunya, bahkan sering memberiku uang jajan bahkan ketika aku sudah selesai kuliah. Mungkin sekitar lima atau enam tahun yang lalu, aku menatapnya di dapur. Sore hari. Saat itu aku membayangkan jika Emak sudah tidak ada lagi di dunia. Dan sejujurnya dari saat itu kesedihanku mulai ada. Bahkan ketika saat teakhir aku menjenguknya di ICU, saat aku tahu sekali bahwa itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Emak, kesedihan itu masih sama. Aku sempat-sempatnya mengambil tasbih mushala, dan menggenggamkannya ke tangan kiri Emak.

Dari semua kesedihan itu, ada kelegaan. Tangisan yang tidak bisa kukeluarkan itu mungkin karena dibanding mereka merasakan sakit luar bisa saat hidup, lebih baik nenek-nenekku dihilangkan sakitnya meski tidak bisa kubertemu kembali.

Selamat jalan... kita akan bertemu kembali.