Mar 12, 2017

The Man Who Always There #2

Kita tak pernah tahu jalan hidup manusia...

Itu adalah sepenggal pikiran yang nyatanya ada juga di gagasan Bibiku ketika kami sekeluarga mengantar Pamanku ke pernikahannya. Bagi yang tahu Pamanku dan ceritanya, pasti akan menapaki jalan masa lalunya yang perih ditinggal seseorang (akupun pernah menuliskan tentang dia di blog ini, tetapi entah kenapa aku tak berani bahkan untuk me-link-kannya).

Tujuh tahun berlalu, di dalamnyapun berhamburan kenangan setelah kejadian itu. Setelah kepergian perempuan itu, aku sejujurnya menangis haru kala ijab-qabul Pamanku karenanya. Bukan karena tidak menerima bibi yang baru ini, aku senang sekali mendapat keluarga baru. Tetapi, peremupuan yang telah pergi itu mengingatkan kami sekeluarga betapa kami tidak pernah punya satu kesempatan bahagia untuk bersama-sam ke rumahnya. Terlebih perempuan itu hampir sering sekali berkunjung ke rumah, hanya untuk membawa masakannya, merayakan ulang tahun, atau hanya sekedar mampir.

Aku menyempatkan diri untuk datang ke lamarannya, dan kembali datang jauh-jauh dari Yogyakarta sebulan kemudian, di pernikahannya yang dilangsungkan mendadak karena nenek sudah sakit-sakitan. Ada sebuah ritual yang tidak ingin aku lewatkan demi Pamanku, apalagi aku sudah mengenalnya semenjak lahir.

Pamanku lahir setahun setelahku, meski ganjil bagi ukuran keponakan yang lebih tua satu tahun. Aku sepermainan dengannya, satu pengajian, satu sekolah, dan satu kuliah. Dari masa aku mengenalnya, hanya sekitar enam tahun kami terpisah ruang masa remaja. Aku di Tasik, Pamanku di Cililin, kami bertemu hanya saat libur sekolah. Pertemuan kami berlanjut ketika sama-sama kuliah di universitas negeri yang sama di Bandung. Mengenalkan secara serius pasangan masing-masing, meskipun kedua hubungan itu kemudian sama-sama kandas.

Jadi ketika di pernikahannya itu, mungkin aku yang paling berlebihan menyikapinya. Tapi aku sangat bahagia menjadi saksi di setiap momen Pamanku itu. Pamanku setelah menikah, tinggal satu atap denganku. Rumah lama yang kutempati sendiri selama lebih dari setahun setelah pindahnya keluargaku ke rumah baru. Sedikit lucu meski buka yang pertama, pamanku yang satunya juga sempat tinggal bersama istrinya, tetapi ketika Pamanku ini tinggal di rumah, aku tentu antusias menerima mereka.

Aku tidak tahu apa nasib waktu, kata Chairil. Begitupun garis-garis cerita Pamanku, aku,keluargaku, teman-temanku, atau mungkin kalian yang membaca tanpa tahu siapa, aku selalu ingin menjadi saksi kehidupan orang-orang baik di dekatku.
***